Nurkilan Sagong Nyior
Tuesday, February 28, 2012
Falsafah Seni bina rumah Islam.
Sunday, February 5, 2012
PETE SANDERS:FOTOGRAFER KELAS DUNIA YG MASUK ISLAM
“Fotografi telah mengenalkan Islam kepada Barat,” begitu kata Peter Sanders, fotografer kelas dunia yang juga pemilik Peter Sanders Photography Library seperti dikutip harian Al-Watan edisi 29 Januari 2008. Sanders menyatakan bahwa masyarakat Barat banyak yang tak tahu dan tak mengenal Islam secara benar.
Namun, peristiwa 11 September 2001 telah membawa masyarakat Barat untuk mengetahui Islam yang sebenarnya secara lebih mendetail. Termasuk, melalui hasil karya seni atau fotografi, seperti yang dihasilkannya. Karena, menurut Sanders, hasil fotografi yang indah akan lebih cepat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Barat.
Sebagai salah satu fotografer legendaris dan ternama, Sanders terbilang unik. Ia tak pernah mengenyam pendidikan fotografi, sebagaimana umumnya para fotografer profesional. Sanders hanya belajar fotografi secara autodidak.
Kursus fotografi pertama Sanders justru dilakukan akhir 1990 di Swiss atau tiga dasawarsa setelah ia malang melintang di jagat fotografi. “Itu pun karena saya mendapat proyek di Arab Saudi yang menuntut penggunaan kamera format besar,” tuturnya. Sanders muda mengaku sering kesulitan uang. Tapi, ia berani berspekulasi dengan menjadi seorang fotografer. Ia menjajakan karya-karyanya ke penerbitan, koran, majalah, atau sampul album musik.
Sanders mengaku terjun ke dunia fotografi hanya menuruti panggilan hatinya. Sebab, ia tak memiliki kemampuan dan keahlian yang bisa diandalkan. Lantaran hobi, ia merasa bakal mampu survive di dunia fotografi kendati tanpa harus memiliki titel mentereng.
Saat ini, Sanders memiliki Peter Sanders Photography Library. Ini semacam pepustakaan yang mendokumentasi karya Sanders sepanjang 39 tahun kariernya di dunia Muslim. Ada lebih dari 250 ribu foto dalam bentuk digital di situ. Ia menjualnya untuk keperluan majalah atau buku-buku tentang Islam.
Dunia fotografi profesional sudah Sanders tekuni lebih dari 50 tahun lamanya. Namun, tidak demikian dengan dunia spiritualnya saat ini. Sang fotografer kawakan kelahiran London, Inggris, 64 tahun silam ini memang tidak dilahirkan dari keluarga Muslim. Agama Islam sendiri baru dikenalnya pada saat ia melakukan perjalanan ke India pada 1970.
Ia mulai berkarier dalam dunia fotografi pada pertengan tahun 1960-an. Saat itu, fotografi yang sedang ngetrend adalah mengabadikan bintang-bintang musik terkenal. Begitu juga dengan Sanders. Ia berdiri di bibir panggung para superstar hanya untuk mengabadikan aksi panggung Bob Dylan, Jimi Hendrix, The Doors, The Who, atau Rolling Stones.
Namun, Sanders merasa jiwanya kering. Kejenuhan akan objek yang itu-itu saja dan persepsinya terhadap fotografi akhirnya membawa dia pada sebuah perjalanan yang rumit. Ia merasa dunia fotografi semakin tak menantang. Hal itu membuatnya semakin gelisah. Maka, pada 1970, ia mengembara hingga ke India.
Perjalanan ini pun membawa Sanders pada dunia yang belum pernah dikenalnya. Ia mulai mengenal Islam dan mencoba mempelajarinya. Semakin lama, ia makin terpesona dengan keindahan Islam. “Ketika itu, usia saya baru menginjak 24 tahun. Saya bertanya tentang mati. Usaikah diri kita setelah mati? Pertanyaan itu terus menghantui saya. Saya pergi ke India. Saya belajar Hindu, Buddha, Sikh, dan Islam,” ungkapnya mengkisahkan awal mula perjalanannya menemukan Islam.
Saat berada di India, Sanders mengalami peristiwa yang amat berkesan. Pada suatu pagi, saat tengah menunggu kereta api di stasiun yang penuh dengan orang dan hiruk pikuk keramaian, seorang ibu tiba-tiba menggelar tikar di dekatnya. Ibu tersebut lantas melakukan gerakan shalat di situ. Hal ini mengejutkan Sanders. Sebab, selama ini dia memang belum pernah melihat orang shalat.
Kemudian, Sanders bertanya kepada seorang anak muda yang berdiri di dekatnya. “Apakah ini?” Anak muda tersebut menjawab, “Ini nenek saya. Dia seorang Muslim. Ia sedang shalat.” Momen tersebut terus terekam dalam ingatannya.
Setelah perjalanan ke India tersebut, ia kembali ke Inggris dan mendapati teman-teman lamanya banyak yang terjerumus dalam penggunaan narkoba. Namun, beberapa orang temannya ada yang menjadi Muslim dan terhindar dari dunia narkoba dan kehidupan malam. Dari sini, ia seakan mendapatkan petunjuk. “Inilah jalan yang harus saya tempuh.” Begitu batinnya mengatakan. Akhirnya, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abd al-Adheem.
Di sebuah koran beberapa tahun lalu, Sanders membuka rahasia mengapa ia memilih Islam. Menurutnya, tak ada yang menariknya kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, selain yang menciptakan manusia. “Tuhanlah yang memilihkan untuk saya,” katanya.
Maka, seusai mendeklarasikan keislamannya ini, Sanders tampak makin bersahaja. Ia tak lagi merasa kering dan gersangnya hati. Islam memberi roh pada pekerjaannya. Islam juga mengilhaminya pada sebuah jalan baru untuk makin menekuni dunia fotografi, namun dengan objek yang berbeda.
Tahun itu juga, Sanders memutuskan pensiun menjadi fotografer selebriti. Ia memulai pengembaraannya ke negeri-negeri Muslim. Tiga bulan setelah masuk Islam, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Makkah atas biaya dari seorang kenalannya.
Saat menunaikan ibadah haji, Sanders mendapat kesempatan untuk memotret Ka’bah dan lautan jamaah haji dari jarak dekat. Pada tahun 1971, saat itu masih terbilang sulit untuk bisa mengambil gambar di Makkah dan Ka’bah pada khususnya serta lokasi lain di Arab Saudi.
Namun, berkat keuletannya, dia mendapatkan izin dari orang yang tepat dan terpandang di Arab Saudi saat itu.
Foto-foto perjalanan spiritualnya dimuat di media-media utama Barat untuk pertama kalinya, seperti The Sunday Times Magazine dan The Observer. Dan, mulai saat itulah, Peter Sander alias Abd AlAdheem makin terkenal.
ShareSaturday, February 4, 2012
8 Cara Mencintai Insan Agung Nabi Muhammad SAW...
Kisah Rasulullah sebagai pengajaran
Friday, February 3, 2012
Kisah Rasulullah SAW dan Buah Limau
Thursday, December 22, 2011
Ke mana arah tuju roh selepas mati?
Diriwayatkan dari Al-Bara’ bin ‘Azib r.a katanya: Kami telah keluar bersama-sama Nabi s.a.w, mengiringi jenazah seorang lelaki dari kaum Ansar, lalu kami sampai ke kuburnya yang disediakan. Rasulullah s.a.w pun duduk lalu kami duduk disekelilingnya dengan keadaan tidak bergerak dan membisu; manakala Baginda s.a.w pula mencucuk-cucuk tanah dengan seranting kayu yang ada di tangannya. Setelah itu Baginda s.a.w mengangkat kepalanya lalu bersabda: “Mintalah kamu perlindungan kepada Allah dari azab kubur”, (diulanginya sabdanya itu) dua atau tiga kali.
Kemudian Baginda s.a.w bersabda lagi: “Sesungguhnya hamba Allah yang mukmin (ketika hendak mati) apabila ia berada dalam keadaan terputus dari dunia dan sedang menghadapi akhirat, akan turunlah kepadanya Malaikat-malaikat dari langit, putih bersih wajah mereka seolah-olah matahari, dengan membawa kain kafan bersama mereka dari kain-kain kapan syurga, dan Hanut (Pachai iaitu serbuk campuran dari benda-benda yang harum yang ditabur kepada mayat semasa dikapankan) dari yang ada di syurga, sehingga mereka duduk jarak daripadanya sejauh mata memandang.
Kemudian datang Malakul Maut lalu duduk di sisi kepalanya sambil menyerunya dengan berkata: “Wahai jiwa yang baik! Keluarlah (dan pada satu riwayat ada disebutkan: Orang yang hendak mati dihadiri saat nazaknya oleh Malaikat, maka sekiranya orang itu seorang yang soleh, berkatalah Malaikat: “Keluarlah engkau..) menuju ke tempat keampunan dan keredhaan Allah”. Baginda s.a.w bersabda lagi: “Kemudian roh orang itu keluar, mengalir seperti mengalirnya setitik air dari mulut bekas air (yang terbuat dari kulit kambing), lalu Malakul Maut mengambilnya, maka apabila ia mengambilnya, Malaikat-malaikat (yang ditugaskan untuk itu) tidak membiarkannya di tangan Malakul Maut walau sekelip mata sekalipun lalu mereka mengambilnya kemudian meletakkannya di dalam kain kapan dan Hanut yang tersebut; dan keluar pula dari roh itu bau yang harumnya seperti seharum-harum kasturi yang terdapat di atas muka bumi.”
Baginda s.a.w bersabda lagi: “Kemudian mereka membawanya naik ke langit, maka mereka tidak melalui (semasa membawanya) mana-mana kumpulan Malaikat melainkan kumpulan Malaikat itu berkata: “Roh yang baik ini roh siapa?” Mereka menjawab: “Roh si fulan anak si fulan’ (dengan menyebutkan sebaik-baik namanya yang biasa mereka menamakannya dengan nama-nama itu di dunia), (demikianlah halnya) sehingga berakhirlah perjalanan mereka membawanya ke langit yang pertama; setelah itu mereka meminta dibukakan pintu langit untuknya, lalu dibukakan pintu untuk mereka. Kemudian Malaikat-malaikat yang berkedudukan istimewa di sisi Tuhan dari penduduk tiap-tiap langit menghantar roh itu beramai-ramai hingga ke langit yang berikutnya, sehinggalah mereka berhenti membawanya di langit yang ketujuh. Setelah itu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Malaikat-malaikat (yang ditugaskan untuk itu): “Simpanlah suratan amal hambaKu ini dalam ‘illiyyin (tempat simpanan surat amal orang-orang yang berbakti) dan bawalah dia balik ke bumi, kerana sesungguhnya Aku telah menciptakan manusia dari bumi, dan ke bumi juga Aku kembalikan mereka, serta dari bumi pula Aku keluarkan mereka sekali lagi.”
Baginda s.a.w bersabda lagi: “Dan sesungguhnya orang yang kafir (ketika hendak mati) apabila ia berada dalam keadaan terputus dari dunia dan sedang menghadapi akhirat, akan turunlah kepadanya Malaikat-malaikat dari langit, hitam muka mereka, dengan membawa kain-kain kasar seperti kain kadut; lalu mereka duduk jarak daripadanya sejauh mata memandang. Kemudian datang Malakul Maut, lalu duduk di sisi kepalanya sambil menyerunya dengan berkata: “Hai jiwa yang jahat! Keluarlah (dan pada satu riwayat disebutkan: Maka apabila orang itu orang jahat, berkatalah Malaikat: “Keluarlah engkau..) menuju ke tempat kebencian dan kemurkaan Allah.”
Baginda s.a.w bersabda lagi: “Kemudian roh orang itu berselerak di merata jasadnya (kerana takut hendak keluar), lalu disentap rohnya itu oleh Malakul Maut sebagaimana sebatang besi pembakar daging disentap dari segumpal bulu yang basah; Malakul Maut pun mengambilnya, maka apabila ia mengambilnya, Malaikat-malaikat (yang ditugaskan untuk itu) tidak membiarkannya di tangan Malakul Maut walau sekelip mata sekalipun sehingga mereka meletakkannya dalam kain kasar yang tersebut; dan keluar pula dari roh itu bau yang sebusuk-busuk bau bangkai yang ada di atas muka bumi. Kemudian mereka membawanya naik ke langit, maka mereka tidak melalui (semasa membawanya) mana-mana kumpulan Malaikat melainkan kumpulan Malaikat itu berkata: “Roh yang jahat ini roh siapa?” Mereka menjawab: “Roh si fulan anak si fulan,” (dengan menyebutkan seburuk-buruk namanya yang biasa dipanggil dengan nama-nama itu di dunia); (demikianlah halnya) sehingga berakhirlah perjalanan mereka membawanya ke langit yang pertama, setelah itu mereka meminta dibukakan pintu langit untuknya, tetapi tidak dibukakan baginya.
Kemudian Rasulullah s.a.w membaca (ayat 40 Surah al-A’raf ), ertinya: “Tidak sekali-kali akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk syurga hingga unta masuk di lubang jarum.” Kemudian Baginda s.a.w bersabda: Lalu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Malaikat: “Simpanlah suratan amal jahatnya di dalam sijjin (tempat simpanan surat amal jahat orang-orang yang berdosa), yang letaknya di bumi yang terkebawah sekali. Lalu dicampakkan rohnya ke situ.”
Imam mazhab yang empat
Imam Abu Hanifah atau nama sebenarnya Nu’man bin Tsabit bin Zhuthi’ lahir pada tahun 80H/699M di Kufah, Iraq, sebuah bandar yang sudah sememangnya terkenal sebagai pusat ilmu Islam pada ketika itu. Ianya diasaskan oleh ‘Abdullah ibn Mas‘ud radhiallahu ‘anh (32H/652M), seorang sahabat zaman Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anh. Imam Abu Hanifah sekali-sekala ikut serta dalam urusniaga ayahnya akan tetapi minatnya yang lebih besar ialah ke arah membaca dan menghafal Al-Quran.
Imam Abu Hanifah pada satu hari telah berjumpa dengan seorang tokoh agama yang masyhur pada ketika itu bernama as-Sya’bi. Melihatkan kepintaran dan kecerdasan luar biasa yang terpendam dalam Imam Abu Hanifah, as-Sya’bi menasihatkan beliau agar lebih banyak mencurahkan usaha ke dalam bidang ilmu-ilmu Islam. Dengan nasihat dan dorongan as-Sya’bi, Imam Abu Hanifah mula menceburkan diri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Islam.
Imam Abu Hanifah mula belajar dengan mendalami ilmu-ilmu qiraat, ilmu bahasa Arab ilmu kalam dan lain-lain. Akan tetapi bidang ilmu yang paling diminatinya ialah ilmu hadith dan fiqh. Beliau banyak meluangkan masa dan tenaga untuk mendalaminya. Imam Abu Hanifah meneruskan pembelajarannya dengan bergurukan kepada as-Sya’bi dan beberapa tokoh ilmuan lain di Kufah. Menurut riwayat, jumlah gurunya di Kufah sahaja berjumlah 93 orang.
Beliau kemudiannya berhijrah ke bandar Basrah di Iraq, untuk berguru bersama Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah dan Shu’bah. Setelah sekian lama berguru dengan Shu’bah yang pada ketika itu terkenal sebagai Amir al-Mu’minin fi Hadith (pemimpin umat dalam bidang hadith), beliau diizinkan gurunya untuk mula mengajar hadith kepada orang ramai. Berkata Shu’bah: “Sebagaimana aku ketahui dengan pasti akan kesinaran cahaya matahari, aku juga ketahui dengan pasti bahawa ilmu dan Abu Hanifah adalah sepasangan bersama.”
Imam Abu Hanifah tidak hanya berpuas hati dengan pembelajarannya di Kufah dan Basrah di Iraq. Beliau kemudiannya turun ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu lagi. Di sana beliau duduk berguru kepada ‘Atha’ bin Abi Rabah. Kemudiannya Imam Abu Hanifah duduk pula bersama Ikrimah, seorang tokoh besar agama di Makkah yang juga merupakan anak murid kepada ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Ali bin Abi Thalib ra, Abu Hurairah ra dan ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhum. Kehandalan Imam Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadith dan fiqh diiktiraf oleh Ikrimah sehingga beliau kemudiannya membenarkan Imam Abu Hanifah menjadi guru kepada penduduk Makkah.
Imam Abu Hanifah kemudiannya meneruskan pengajiannya di Madinah bersama Baqir dan Ja’afar as-Shadiq. Kemudiannya beliau duduk bersebelahan dengan Imam Malik bin Anas, tokoh besar kota Madinah ketika itu. Walaupun Imam Abu Hanifah 13 tahun lebih tua daripada Imam Malik, ini tidak menghalangnya untuk turut serta belajar. Apabila guru kesayanganya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Imam Abu Hanifah telah diminta untuk mengganti kedudukan Hammad sebagai guru dan sekaligus tokoh agama di Basrah. Melihatkan tiada siapa lain yang akan meneruskan perjuangan Hammad, Imam Abu Hanifah bersetuju kepada jawatan tersebut.
Mulai di sinilah Imam Abu Hanifah mengajar dan menjadi tokoh besar terbaru dunia Islam. Orang ramai dari serata pelusuk dunia Islam datang untuk belajar bersamanya. Di samping mengajar, Imam Abu Hanifah adalah juga seorang pedagang dan beliau amat bijak dalam mengadili antara dua tanggungjawabnya ini sebagaimana diterangkan anak muridnya al-Fudail ibn ‘Iyyadh: “Adalah Imam Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fiqh, banyak kekayaan, suka mengeluarkan harta untuk sesiapa yang memerlukannya, seorang yang sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, banyak beribadat pada malam hari, banyak berdiam diri, sedikit berbicara terkecuali apabila datang kepadanya sesuatu masalah agama, amat pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mahu menerima pemberian penguasa.”
Pada zaman pemerintahan Abbasid, Khalifah al-Mansur telah beberapa kali meminta beliau menjawat kedudukan Qadhi kerajaan. Imam Abu Hanifah berkeras menolak tawaran itu. Jawapan Abu Hanifah membuatkan al-Mansur marah lalu dia menghantar Imam Abu Hanifah ke penjara. Akan tetapi tekanan daripada orang ramai menyebabkan al-Mansur terpaksa membenarkan Imam Abu Hanifah meneruskan pengajarannya walaupun daripada dalam penjara. Apabila orang ramai mula mengerumuni penjara untuk belajar bersama Imam Abu Hanifah, al-Mansur merasakan kedudukannya mula tergugat. Al-Mansur merasakan Imam Abu Hanifah perlu ditamatkan hayatnya sebelum terlambat.
Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rejab 150H/767M (ketika berusia 68 tahun), yakni ketika berada di dalam penjara disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan bahawa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam ini amat dirasai oleh dunia Islam. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiapnya didirikan oleh hampir 50,000 orang jamaah. Abu Hanifah mempunyai beberapa orang murid yang ketokohan mereka membolehkan ajarannya diteruskan kepada masyarakat. Antara anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang ulung ialah Zufar (158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M) dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani(189H/805M).
Imam Malik bin Anas [93H/711M – 179H/796M]
Imam Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93H/711M. Beliau dilahirkan di dalam sebuah kota yang merupakan tempat tumbuhnya Islam dan berkumpulnya generasi yang telah dididik oleh para sahabat Rasulullah s.a.w. Sejarah keluarganya juga ada hubung kait dengan ilmu Islam, dengan datuknya sendiri adalah seorang perawi dan penghafal hadith yang terkemuka. Pakciknya juga, Abu Suhail Nafi’ adalah seorang tokoh hadith kota Madinah pada ketika itu dan dengan beliaulah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya hadith. Abu Suhail Nafi’ ialah seorang tabi‘in yang sempat menghafal hadith daripada ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Salamah, Abu Hurairah dan Abu Sa‘id al-Khudri r.a.
Selain Nafi’, Imam Malik bin Anas juga duduk berguru dengan Jaafar as-Shadiq, cucu kepada al-Hassan, cucu kepada Rasulullah s.a.w. Imam Malik juga duduk belajar di Masjid Nabawi, Madinah dan berguru dengan Muhammad Yahya al-Ansari, Abu Hazim Salmah ad-Dinar, Yahya bin Saad dan Hishambin ‘Urwah. Mereka ini semua ialah anak murid kepada para sahabat Rasulullah s.a.w. Suasana kehidupan Imam Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dengan para tabi‘in amatlah menguntungkannya. Para tabi‘in ini adalah mereka yang sempat hidup bersama sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadith dan mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus. Inilah antara sebab kenapa Imam Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali apabila pergi menunaikan ibadat hajinya.
Imam Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih peranan sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi, Madinah. Ajarannya menarik sejumlah orang ramai daripada pelbagai daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak sebagai Mufti Kota Madinah pada ketika itu. Imam Malik juga ialah antara tokoh yang terawal dalam mengumpul dan membukukan hadith-hadith Rasulullah s.a.w di dalam kitabnya al-Muwattha’. Kitabnya ini menjadi hafalan dan rujukan orang ramai sehinggakan ia pernah dikatakan oleh Imam as-Syafi‘e sebagai: “Tidak wujud sebuah buku di bumi yang paling hampir kepada al-Quran melainkan kitab Imam Malik ini.”
Antara tokoh besar yang duduk belajar bersama Imam Malik ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah, Iraq. Selain itu diriwayatkan juga bahawa sebanyak 1,300 tokoh-tokoh lain yang duduk bersama menuntut ilmu bersama Imam Malik di Masjid Nabawi. Antaranya termasuklah Muhammad bin Idris, yang kemudiannya terkenal dengan gelaran Imam as-Syafi‘e. Ketinggian ilmu Imam Malik bin Anas pernah diungkap oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai: “Imam Malik adalah penghulu daripara penghulu ahli ilmu dan beliau pula seorang imam dalam bidang hadith dan fiqh. Siapakah gerangan yang dapat menyerupai Imam Malik?”
Imam Malik pernah dihukum oleh gabenor Kota Madinah pada tahun 147H/764M kerana telah mengeluarkan fatwa bahawa hukum talaq yang cuba dilaksanakan oleh kerajaan Abbasid sebagai tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah membuat fatwa sendiri bahawa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin dan barangsiapa yang enggan akan terjatuh talaq ke atas isterinya. Memandangkan rakyat yang lebih taatkan ulama’ daripada pemimpin, pemerintah Abbasid telah memaksa Imam Malik untuk mengesahkan fatwa mereka. Imam Malik enggan, malah mengeluarkan fatwa menyatakan bahawa talaq sedemikian tidak sah (tidak jatuh talaqnya). Imam Malik ditangkap dan dipukul oleh gabenor Madinah sehingga tulang bahunya patah dan terkeluar daripada kedudukan asalnya. Kecederaan ini amatlah berat sehinggakan beliau tidak lagi dapat bersolat dengan memegang kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan sahaja terkulai di tepi badannya.
Imam Malik kemudiannya dibebaskan dari penjara dan beliau terus kembali mengajar di Madinah sehinggalah beliau meninggal dunia pada 11 Rabiul-Awwal, tahun 179H/796M, ketika berusia 86 tahun (Hijrah). Di antara anak-anak murid beliau yang masyhur ialah ‘Abdarrahman bin al-Qasim al-Tasyri (191H/807M), Ibn Wahhab Abu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya bin Yahya al-Masmudi (234H/849M).
Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’e [150H/767M – 204H/820M]
Imam as-Syafi’e lahir di Gaza, Palestin pada tahun 150H/767M. Nama sebenarnya ialah Muhammad bin Idris as-Syafi‘e. Beliau mempunyai pertalian darah Quraisy dan hidup tanpa sempat melihat ayahnya. Pada umur 10 tahun ibunya membawanya ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan selepas itu beliau tetap berada di sana untuk menuntut ilmu. Di Makkah Imam as-Syafi’e memulakan perguruannya dengan Muslim bin Khalid al-Zanji, yakni mufti Kota Makkah ketika itu.
Kitab ilmu yang paling terkemuka pada ketika itu ialah al-Muwattha’ karangan Imam Malik bin Anas, dan Imam as-Syafi’e dalam usia 15 tahun telah pun menghafal keseluruhan kitab tersebut. Imam as-Syafi’e kemudiannya berhijrah ke Madinah untuk berguru pula dengan penulis kitab itu sendiri, yakni Imam Malik bin Anas. Ketika itu Imam as-Syafi’e baru berumur 20 tahun dan beliau terus duduk bersama Imam Malik sehinggalah kewafatannya pada tahun 179H/796M. Ketokohan Imam as-Syafi’e sebagai murid terpintar Imam Malik bin Anas mulai diiktiraf ramai. Imam as-Syafi‘e mengambil alih sebentar kedudukan Imam Malik bin Anas sebagai guru di Masjid Nabawi di Madinah sehinggalah beliau ditawarkan satu kedudukan jawatan oleh Gabenor Yaman. Jawatan Imam as-Syafi’e di Negeri Yaman tidak lama kerana beliau telah difitnah sebagai pengikut mazhab Syi‘ah. Selain itu pelbagai konspirasi lain dijatuhkan ke atasnya sehinggalah beliau dirantai dan dihantar ke penjara di Baghdad, yakni pusat pemerintahan Dinasti Abbasid ketika itu.
Imam as-Syafi’e dibawa menghadap kepada Khalifah Harun ar-Rashid dan beliau berjaya membuktikan kebenaran dirinya. Kehandalan serta kecekapan Imam as-Syafi’e membela dirinya dengan pelbagai hujjah agama menyebabkan Harun ar-Rashid tertarik kepadanya. Imam as-Syafi’e dibebaskan dan dibiarkan bermastautin di Baghdad. Di sini Imam as-Syafi’e telah berkenalan dengan anak murid Imam Abu Hanifah dan duduk berguru bersama mereka, terutamanya Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani. Suasana ini memberikan kelebihan yang penting bagi Imam as-Syafi’e, iaitu beliau berkesempatan untuk belajar dan membanding antara dua ajaran Islam, yakni ajaran Imam Malik bin Anas dan ajaran Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 188H/804M, Imam as-Syafi’e berhijrah pula ke Mesir. Sebelum itu beliau singgah sebentar di Makkah dan di sana beliau diberi penghormatan dan dipelawa memberi kelas pengajian agama. Imam as-Syafi’e kini mula diiktiraf sebagai seorang imam dan beliau banyak meluahkan usaha untuk cuba menutup jurang perbezaan di antara ajaran Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah. Usahanya ini tidak disambut baik oleh para penduduk Makkah kerana kebiasaan mereka adalah kepada ajaran Imam Malik bin Anas.
Pada tahun 194H/810M, Imam as-Syafi’e kembali semula ke Baghdad dan beliau dipelawa untuk memegang jawatan Qadhi bagi Dinasti Abbasid. Beliau menolak dan hanya singgah selama 4 tahun di Baghdad. Imam as-Syafi’e kemudian kembali ke Mesir dan memusatkan ajarannya di sana pula. Daud bin ‘Ali pernah ditanya akan kelebihan Imam as-Syafi’e berbanding tokoh-tokoh lain pada ketika itu, maka beliau menjawab: “As-Syafi‘e mempunyai beberapa keutamaan, berkumpul padanya apa yang tidak terkumpul pada orang lain. Beliau seorang bangsawan, beliau mempunyai agama dan i’tiqad yang sebenar, seorang yang sangat murah hati, mengetahui hadith sahih dan hadith dhaif, nasikh, mansukh, menghafal al-Quran dan hadith, perjalanan hidup para Khulafa’ ar-Rashidin dan amat pandai pula mengarang.”
Dalam usahanya untuk cuba menutup jurang perbezaan antara ajaran Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafi’e menghadapi banyak tentangan daripada para pengikut Mazhab Maliki yang amat taksub kepada guru mereka. Pada satu malam, dalam perjalanan balik ke rumah dari kuliah Maghribnya di Mesir, Imam as-Syafi’e telah diserang dan dipukul orang sehingga menyebabkan kematiannya. Pada ketika itu Imam as-Syafi’e juga sedang menghadapi penyakit buasir yang agak serius.
Imam as-Syafi’e meninggal dunia pada 29 Rejab tahun 204H/820M di Mesir ketika berumur 54 tahun (Hijrah). Beliau meninggalkan kepada dunia Islam sebuah kitab yang paling agung dalam bidang usul fiqh berjudul ar-Risalah. Kitab ini adalah yang terawal dalam menyatakan kaedah-kaedah mengeluarkan hukum daripada sesebuah nas al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain itu Imam as-Syafi’e juga meninggalkan kitab fiqhnya yang termasyhur berjudul al-Umm. Ajaran Imam as-Syafi’e diteruskan oleh beberapa anak muridnya yang utama seperti Abu Yaaqub al-Buwayti (231H/846M), Rabi’ bin Sulaiman al-Marali (270H/884M) dan Abu Ibrahim bin Yahya al-Muzani (274H/888M).
Imam Ahmad bin Hanbal [164H/781M – 241H/856M]
Imam Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad, Iraq, pada tahun 164H/781M. Ayahnya seorang mujahid Islam dan meninggal dunia pada umur muda, iaitu 30 tahun. Ahmad kemudiannya dibesarkan oleh ibunya Saifiyah binti Maimunah. Imam Ahmad bin Hanbal menghafal al-Qur’an sejak kecil dan pada umurnya 16 tahun beliau sudah menjadi penghafal hadith yang terkenal. Imam Ahmad bin Hanbal meneruskan pengajian hadithnya dengan sekian ramai guru dan beliau pada akhir hayatnya dijangkakan telah menghafal lebih daripada sejuta hadith termasuk barisan perawinya.
Pada tahun 189H/805M Imam Ahmad bin Hanbal berhijrah ke Basrah dan tidak lama kemudian ke Makkah dan Madinah untuk menuntut ilmu. Di sana beliau sempat duduk berguru dengan Imam as-Syafi‘e. Sebelum itu guru-gurunya yang masyhur ialah Abu Yusuf, Husain ibn Abi Hazim al-Washithi, ‘Umar ibn ‘Abdullah ibn Khalid, ‘Abdurrahman ibn Mahdi dan Abu Bakar ibn ‘Iyasy. Pada tahun 198H Imam Ahmad bin Hanbal ke negeri Yaman pula untuk berguru dengan ‘Abdurrazzaq ibn Humam, seorang ahli hadith yang besar ketika itu, terkenal dengan kitabnya yang berjudul al-Musannaf. Dalam perjalanannya ini Imam Ahmad mula menulis hadith-hadith yang dihafalnya setelah sekian lama.
Imam Ahmad bin Hanbal kembali semula ke Baghdad dan mula mengajar. Kehebatannya sebagai seorang ahli hadith dan pakar fiqh menarik perhatian orang ramai dan mereka mula mengerumuninya untuk belajar bersama. Antara anak muridnya yang kemudian berjaya menjadi tokoh hadith terkenal ialah al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud. al-Qasim ibn Salam pernah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah orang yang paling ahli dalam bidang hukum dan aku tidak melihat ada orang yang lebih mengetahui tentang as-Sunnah selain beliau. Beliau tidak pernah bersenda gurau, selalu berdiam diri, tidak memperkatakan apa-apa selain ilmu.”
Imam Ahmad bin Hanbal pernah hidup di dalam penjara kerana kekerasannya menentang Mazhab Mu’tazilah yang diterima oleh pemerintah Abbasid ketika itu. Mereka (pemerintah) memaksa Imam Ahmad mengesahkan mazhab baru tersebut. Imam Ahmad enggan dan ini menyebabkan beliau dirotan di dalam penjara sehingga tidak sedarkan diri. Akibat ketegasan Imam Ahmad bin Hanbal serta tekanan daripada para orang ramai akhirnya menyebabkan pihak pemerintah Abbasid telah terpaksa membebaskan beliau dari penjara. Imam Ahmad kemudiannya meneruskan pengajarannya kepada orang ramai sehinggalah kematiannya pada tahun 241H/856M, ketika berusia 77 tahun Hijriah.
Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan kepada dunia Islam kitab hadithnya yang terkenal iaitu “al-Musnad” yang mengandungi lebih kurang 30,000 hadith Rasulullah s.a.w dan atsar para sahabat r.a. Dua orang anaknya yang utama meneruskan perjuangan ayah mereka, iaitu ‘Abdullah bin Ahmad dan Shaleh bin Ahmad. Share